√ Studi Komparasi Pendapat Imam Syafi’I Dan Imam Malik Ihwal Kedudukan Dan Kehadiran Saksi Dalam Perkawinan

A.    Latar Belakang

Agama Islam ialah agama yang terakhir dan merupakan agama penyempurna bagi agama-agama lain yang diturunkan oleh Allah Swt, baik dari segi ajaran-ajarannya maupun hukumnya, tujuan diciptakan insan ialah untuk beribadah dan hal ini sesuai dengan firman Allah Surat Adz-Dzariyat ayat 56 :
وما خلقت الجنّ والإنس الاّ ليعبدون. (الذريات : 56)
Artinya : “Dan Aku tidak membuat jin dan insan melainkan supaya mereka menyembah-Ku”.[1]

Adapun yang dimaksud menyembah di sini tidak hanya diartikan melaksanakan ibadah shalat saja, akan tetapi bisa mempunyai arti yang sangat luas, yakni melaksanakan perintah-perintah Allah dan Rasul-Nya serta menjauhi segala larangan-larangan-Nya. Begitu juga di dalam aliran Islam, adanya suatu tawaran untuk mengembangbiakkan keturunan yang pelaksanaannya harus sesuai dengan tatacara yang telah ditetapkan dalam syari’at Islam baik dalam Al-Qur’an maupun hadits ataupun sumber-sumber aturan yang lain. Tatacara yang dimaksud ialah melalui perkawinan yang sah, baik sah secara agama ataupun sah berdasarkan pemerintah sehingga tidak akan terjadi ketimpangan di masa  datang setelah terjadi perkawinan.
Bahwa hakikat dari suatu perkawinan tidak lain ialah institusi yang ditetapkan oleh syara’ guna menyatukan watak insan yang mempunyai syahwat secara sah. Dengan hal ini ialah perbedaan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebelum adanya ijab kabul yang berdasarkan syari’at Islam, merupakan suatu hal yang sangat diharamkan, sehingga ijab kabul mengakibatkan halalnya persebadanan antara seorang laki-laki dengan seorang wanita.
Sebagaimana firman Allah Swt Surat Al-Baqarah ayat 187 :
... هنّ لباس لكم وانتم لباس لهنّ ... الاية (البقراة : 187).
Artinya : “Mereka ialah pakaian bagimu dan kau ialah pakaian bagi mereka” (Q.S. Al-Baqarah : 187).[2]

Firman Allah Surat Ar-Rum ayat 21 :
ومن ايته ان خلق لكم من انفسكم ازواجا لتسكنوا اليها وجعل بينكم مودّة ورحمة إنّ فى ذلك لا يت لقوم يتفكّرون (الروم : 21).

Artinya : “Dan diantara gejala kekuasaan-Nya ialah Dia membuat istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kau cenderung dan merasa tentram padanya, dan dijadikannya diantara kau rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian terdapat gejala bagi kaum yang berfikir”. (Ar-Rum : 21).[3]

Dalam sejarah peradaban insan adanya forum perkawinan merupakan faktor mayoritas dalam membentuk keteraturan umat insan sebagai mahluk sosial, dari pasangan suami istri yang harmonis dan taat akan mendatangkan kebahagian dan keturunan yang baik, sehingga akan terbentuklah keluarga yang baik dan dari keluarga yang baik tersebut diharapkan akan terbentuklah masyarakat yang baik pula.
Sebelum para pihak melangsungkan perkawinan, maka ada syarat dan rukun yang harus dipenuhi oleh kedua pihak. Adapun yang menjadi rukun nikah berdasarkan Imam Malik ialah sebagai berikut :
1.      Wali dari pengantin perempuan
2.      Calon pengantin laki-laki
3.      Calon pengantin perempuan.
4.      Sadaq (mas kawin).
5.      Sighat ijab qabul.[4]
Sedangkan rukun nikah berdasarkan Imam Syafi’i ialah :
1.   Calom suami.
2.   Calon istri.
3.   Wali nikah dari pengantin perempuan.
4.   Dua orang saksi.
5.   Sighat ijab qabul.[5]
Dari sini sanggup dimengerti bahwa berdasarkan dua ulama’ besar tersebut, saksi dipandang beda baik kedudukan maupun fungsinya. Saksi ialah orang yang diminta pada suatu kejadian untuk melihat dan menyaksikan atau mengetahui biar suatu ketika bila diharapkan ia sanggup menunjukkan keterangan yang membenarkan bahwa kejadian itu sungguh-sungguh terjadi.[6]
Sehingga dalam hal ini seorang saksi harus memenuhi persyaratan yang telah ditentukan dalam syara’ dan apabila persyaratan itu tidak terpenuhi, maka kesaksiannya tidak sah. Adapun syarat-syarat saksi ialah :
1.   Dua orang saksi.
2.   Berakal.
3.   Adil.
4.   Dapat berbicara.
5.   Islam.
6.      Dapat mendengar.
7.      Tidak mempunyai kekerabatan kerabat antara kedua belah pihak.[7]
Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat ihwal saksi, apakah saksi itu merupakan suatu syarat saja ataukah sebagai rukun dalam perkawinan. Berarti mengandung maksud bahwa nikah itu tidak sanggup berakadkan tanpa adanya saksi walaupun pemberitahuan ihwal adanya nikah itu sanggup dicapai dengan cara yang lain akan tetapi Imam Syafi’i menyatakan bahwa saksi itu sebagai rukun sehingga setiap perkawinan harus disaksikan oleh kedua orang saksi.
Hal ini sesuai dengan klarifikasi dalam kitab “Al-Umm” sebagaimana berikut :
أخبرنا مسلم بن خا لد وسعيد عن ابن جريج عن عبدالله بن عثما ن بن خيثم عن سعيد بن جبير ومجا هد عن ابن عباس قا ل : لا نكاح إلا بشا هدى عدل وولى مرشد.[8]

Artinya : “Dikabarkan oleh Muslim bin Khalid dan Sa’id dari Ibnu Juraij, dari Abdullah bin Ustman bin Khaitsam, dari Said bin Jubair dan Mujahid, dari Ibnu Abbas ia menyampaikan : Tiada perkawinan, selain dengan dua orang saksi yang adil dan wali yang memimpin”.

Dalam problem ini Imam Malik beropini bahwa saksi nikah tidak menjadi rukun nikah akan tetapi saksi hanya sebagai syarat nikah.[9] Sebagaimana klarifikasi sebagai berikut :
ولما لك فى الموطّأ عن الزّبير المكّىّ أنّ عمربن الخطّاب أتى بنكاح لم يشهد عليه ألاّ رجل وأمرأة فقال : هذا نكاح السّرّ ولا أجيزه ولو كنت تقدّمت فيه لرجمت. [10]
Artinya : “Dan bagi Imam Malik dalam al-Muwaththa’ dari Abi Zubair al-Makki, bahwa sesungguhnya pernah diajukan kepada Umar bin Khaththab suatu pernikahan yang tidak disaksikan melainkan oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan, maka jawab Umar: Ini nikah sirri, saya tidak memperkenankannya dan jikalau engkau tetap melakukannya tentu kurajam”.

Sedangkan Imam Syafi’i menyatakan bahwa dua orang saksi harus hadir dan menyaksikan secara eksklusif kesepakatan nikah. Karena dalam suatu perkawinan kejadian yang sangat penting ialah pada dikala ijab kabul dilangsungkan, sehingga dua orang saksi harus hadir pada terjadinya kesepakatan nikah.[11]
Namun Imam Malik berbeda pendapat bahwa saksi tidak harus hadir dalam ijab kabul dilaksanakan, kalaupun hadir hanyalah sunnah saja. Saksi itu harus hadir pada dikala mereka bersetubuh atau melaksanakan kekerabatan seksual.[12] Menurut ulama Madinah boleh saksi seorang kemudian setelah itu seorang saksi lagi apabila diumumkan sebelumnya (datangnya saksi tidak bersamaan).[13]
Dari uraian di atas terdapat perbedaan yang sangat mendasar. Maka dari itu penulis ingin membahasnya dalam bentuk skripsi dengan judul : “Studi Komparasi Pendapat Imam Syafi’i dan Imam Malik ihwal Kedudukan dan Kehadiran Saksi dalam Perkawinan”

B.     Rumusan Masalah

Bertolak dari latar belakang di atas, sehingga timbul pertanyaan atau problem ataupun permasalahan dalam kajian ini ialah :
1.      Mengapa Imam Syafi’i dan Imam Malik berbeda pendapat ihwal kedudukan dan kehadiran saksi dalam pernikahan ?
2.      ِِApakah pendapat Imam Syafi’i dan Imam Malik ihwal kedudukan dan kehadiran saksi dalam pernikahan itu masih relevan ?
3.      Apa yang menjadi dasar aturan pendapat Imam Syafi’i dan Imam Malik berbeda pendapat ihwal kedudukan dan kehadiran saksi dalam pernikahan ?

C.    Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam skripsi ini ialah :
1.      Untuk mengetahui lebih jauh bagaimana argumentasi Imam Syafi’i dan Imam Malik dalam problem kedudukan dan kehadiran saksi dalam pernikahan.
2.      Untuk mengetahui apakah pendapat Imam Syafi’i dan Imam Malik ihwal kedudukan dan kehadiran saksi dalam pernikahan itu masih relevan.
3.      Untuk mengetahui dasar aturan yang dipakai Imam Syafi’i dan Imam Malik berbeda pendapat ihwal kedudukan dan kehadiran saksi dalam pernikahan.

D.    Penegasan Istilah

Studi                  :    Studi, berarti kajian, telaah, penelitian dan penyelidikan ilmiah terhadap sesuatu.[14]
Komparasi          :    Berkenaan atau berdasarkan perbandingan.[15]
Imam Syafi’i      :    Seorang imam mazdhab fiqih yang diikuti oleh sebagian besar umat muslim di Indonesia, disebut Syafi’i alasannya ialah dibangsakan dengan nama datuknya yang ke-tiga yaitu Syafi’i bin Salib.[16]
Imam Malik        :    Ahli hadits, hebat fiqih, mujtahid besar dan pendiri mazdhab Maliki yang populer dengan sebutan Imam Dar Al-Hijrah (tokoh panutan penduduk Madinah).[17]
Kedudukan        :    Keadaan yang sebenarnya.[18]
Saksi                   :    Orang yang melihat atau mengetahui sendiri kejadian yang diminta hadir pada kejadian untuk mengetahuinya biar suatu ketika apabila diharapkan sanggup menunjukkan keterangan yang membenarkan bahwa kejadian itu sungguh terjadi.[19]
Perkawinan        :    Pernikahan, yaitu kesepakatan yang sangat besar lengan berkuasa atau miitsaaqon gholidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.[20]
Kaprikornus yang dimaksud dari judul skripsi “Studi Komparasi Pendapat Imam Syafi’i dan Imam Malik ihwal Kedudukan dan Kehadiran Saksi dalam Perkawinan” ialah kajian ilmiah terhadap pendapat Imam Syafi’i dan Imam Malik ihwal keadaan atau status saksi yang bahu-membahu dan kehadiran saksi dalam perkawinan.

E.     Metode Penelitian

Metode mempunyai peranan yang sangat penting dalam mencapai suatu tujuan, dengan menggunakan teknik serta alat-alat tertentu untuk mendapat kebenaran yang obyektif dan terarah dengan baik.
Adapun metode yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini, ialah :
1.      Pendekatan Penelitian
Kerja penelitian dalam skripsi ini menggunakan pendekatan rasionalistik. Menurut Noeng Muhajir, pendekatan rasionalistik ialah pendekatan yang menekankan pemaknaan empirik, pemahaman intelektual dan kemampuan berargumentasi secara logik.[21]
Dan penulis juga menggunakan metode pendekatan ushul fiqh dengan menggunakan teori tarjih, di sini teori tarjih diartikan apabila terdapat dua nash yang secara dhohir bertentangan maka harus diupayakan pembahasan atau ijtihad sebagai upaya mengkopromikan sesuai dengan metode yang berlaku.[22] Dan apabila mustahil untuk mengkompromikan maka dengan jalan mentarjih salah satu dan apabila mustahil maka dengan jalan mengetahui histori nash tersebut.[23]

2.      Jenis Penelitian
Jenis penelitian skripsi ini ialah library research yaitu penelitian yang berafiliasi dengan dunia pustaka.[24]
3.  Teknik Pengumpulan Data
Berangkat dari jenis penelitian yang dilakukan ialah penelitian kepustakaan, maka data diambil dari dunia pustaka, menyerupai kamus, literatur, majalah, serta buku-buku yang terkait dengan pembahasan dalam penelitian skripsi ini. Untuk memperoleh data-data yang diharapkan dalam skripsi ini, sumber pengumpulan data yang dipakai ialah sebagai berikut :
a.    Sumber data primer
Yaitu sumber eksklusif yang berkaitan obyek riset, sumber ini merupakan diskripsi atau klarifikasi eksklusif ihwal pernyataan yang dibentuk oleh individu dengan menggunakan teori yang pertama kali.[25]
Sumber data primer sanggup berkaitan eksklusif dengan nash-nash Al-Qur'an dan hadis-hadis Rosulullah dan pendapat Imam Syafi’i dan Imam Malik.
b.    Sumber data sekunder
Yaitu materi pustaka yang diperoleh dan dipublikasikan oleh penulis yang tidak secara eksklusif melaksanakan pengamatan atau berpartisipasi dalam kenyataan yang didiskripsikan atau bukan penemu teori.[26]
Adapun buku-buku sumber penelitian dan karangan ilmiah lain yang isinya sesuai dengan permasalahan dalam judul skripsi Studi Komparasi Pendapat Imam Syafi’i dan Imam Malik ihwal Kedudukan dan Kehadiran Saksi dalam Perkawinan, yang sanggup dijadikan sebagai suplemen dalam penyusunannya.
4.    Teknik Pengolahan Data
Setelah diperoleh data-data yang diharapkan dalam skripsi ini, maka pengolahan data yang dipakai ialah sebagai berikut :

a.       Metode Deduktif
Deduktif ialah metode yang pembahasannya dimulai dari kaidah-kaidah yang bersifat umum biar diperoleh kesimpulan yang bersifat khusus.[27]
Metode deduktif ini penulis anggap lebih sempurna dan mempermudah pengambilan kesimpulan yang lebih spesifik dari suatu pembahasan yang bersifat umum yaitu membahas ihwal landasan teori yang berisi ihwal dalil-dalil syar’i yang disepakati dan diperselisihkan para ulama, khususnya Imam Syafi’i dan Imam Malik.
b.      Metode Induktif
Induktif ialah suatu metode yang berangkat dari faktor yang bersifat khusus atau kejadian kongkrit, kemudian dari faktor-faktor itu ditarik kesimpulan yang bersifat umum.[28]
Dalam penyajian data, penulis berangkat dari faktor-faktor yang bersifat umum, yaitu membahas ihwal biografi, istimbath hukum, dan kedudukan saksi berdasarkan Imam Syafi’i dan Imam Malik.

c.       Metode Komparatif
Metode komparatif ialah metode yang dipakai untuk memperoleh kesimpulan dengan menilai faktor-faktor tertentu yang berafiliasi dengan situasi yang diselidiki dan membandingkan dengan faktor-faktor lain.[29]
Komparatif merupakan metode terpenting dalam penulisan skripsi ini, alasannya ialah penulis merasa perlu untuk mengkomparasikan aspek dalil yang dipakai Imam Syafi’i dan Imam Malik ihwal kedudukan dan kehadiran saksi dalam perkawinan.

F.   Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah adanya alur pembahasan ini, maka penulis membuat sistematika penulisan skripsi sebagai berikut :
1.   Bagian Muka, terdiri dari :
Halaman judul, halaman nota pembimbing, halaman pengesahan, halaman motto, halaman persembahan, halaman kata pengantar dan halaman daftar isi.
2.   Bagian Isi, terdiri dari beberapa pecahan :
Bab I       : Bab pendahuluan yang meliputi; latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan skripsi, penegasan istilah, metode penelitian, sistematika penulisan skripsi.
Bab II      : Membahas ihwal landasan teori. Dalam pecahan ini penulis menguraikan ihwal dalil-dalil syar’i yang meliputi; definisi dalil-dalil syar’i, dalil-dalil syar’i yang disepakati oleh kedua ulama dan dalil-dalil syar’i yang diperselisihkan kedua ulama tersebut.
Bab III    : Pada pecahan ini berisi ihwal kedudukan saksi dalam perkawinan berdasarkan Imam Syafi’i dan Imam Malik, yang meliputi; biografi Imam Syafi’i dan Imam Malik, istimbat aturan Imam Syafi’i dan Imam Malik, kedudukan saksi dan masa hadirnya dalam perkawinan berdasarkan Imam Syafi’i dan Imam Malik.
Bab IV    :  Analisis data. Pada pecahan ini penulis membahas ihwal komparasi pemikiran Imam Syafi’i dan Imam Malik ihwal kedudukan saksi dan masa hadirnya dalam perkawinan, yang meliputi; aspek dalil yang dipakai oleh Imam Syafi’i dan Imam Malik kaitannya dengan kedudukan saksi dalam perkawinan, aspek maslahat yang hendak dicapai di Indonesia.
Bab V      : Penutup. Pada pecahan ini penulis menunjukkan kesimpulan atas analisis data, kemudian dilanjutkan dengan menunjukkan saran-saran dan kata penutup.       
3.   Bagian Akhir, terdiri dari :
Daftar pustaka, daftar riwayat hidup dan lampiran-lampiran.


[1]Al-Qur’an, Adz-Dzariyat Ayat 56, Yayasan Penyelenggara Penerjemah Penafsiran Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Depag RI, 1992. hlm. 628.
[2]Al-Qur’an, Surat Al-Baqarah ayat 187, Yayasan Penyelenggara Penerjemah Penafsiran Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Depag RI, 1992. hlm. 44.
[3]Al-Qur’an, Surat Ar-Rum ayat 21, Yayasan Penyelenggara Penerjemah Penafsiran Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Depag RI, 1992. hlm. 644.
[4]Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqhu ‘Ala Mazahib Al-Arba’ah, Maktabah Al-Jariyah, Juz 4, Kubro, Mesir, 1929, hlm. 23.
[5]Ibid, hlm. 12.
[6]Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Islam, PT. Ichtiar Baru, Van Hoeve, Jakarta, 1994, hlm. 202.
[7]Abdurrahman Al-Jaziri, Op.cit, hlm. 21.
[8]Al-Imam Abi Abdullah Muhammad bin Idris As-Syafi’i, Al-Umm, Juz 5, Dar al-Fikr, Beirut, t.th, hlm. 23.
[9]Ibnu Rusd, Bidayatul Mujtahid wa Nihaatul Muktasid, Juz 2, Dar al-Fikr, Beirut, hlm. 15.
[10]Imam Malik, Al-Muwatha’, Dar Al-Fikr, Beirut, 1989. 
[11]Al-Imam Abi Abdullah Muhammad bin Idris As-Syafi’i,  Al-Umm (Terj.), Juz 7, Cet. I, 1983, hlm. 117.
[12]Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqhu ‘Ala Mazahi bin Araba’ah, Juz 4, Dar el-Makmun, Syibra, 1969, hlm. 23.
[13]Terjemahahan Nailul Author Himpunan Hadits-Hadits Hukum (Diterj. Mu’ammal Hamidy dan Umar Fanany, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1993, hlm. 2173.
[14]Tim Punyusun Pusat Pembinaan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka, Jakarta, 1994, hlm. 965.
[15]Ibid, hlm. 516.
[16]Munawar Kholil, Biografi Empat Serangkai Imam Mazdhab, Bulan Bintang, 1983, hlm. 152.
[17]Ibid, hlm. 184.
[18]Ibid, hlm. 214.
[19]Ibid, hlm. 770.
[20]Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Akademi Pressindo, Jakarta, 1992, hlm. 114.
[21]Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, Rake Sarasin, Yogyakarta, 1992, hlm. 83.
[22]Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Dar Al-Qalam, Kuwait, 1978, hlm. 229.
[23]Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Dar Al-Fikr Al-Araby, t.th, hlm. 309.
[24]Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Jilid I, Andi Offset, Yogyakarta, 1987, hlm. 9.

25Ibnu Hajar, Dasar-dasar Metodologi Penelitian Kualitatif dalam Pendidikan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hlm. 83.
26Ibid., hlm. 84.
[27]Sutrisno Hadi, Op.cit, hlm. 36.
[28]Ibid, hlm. 42.
[29]Winarno Surakhmad, Dasar dan Teknik Research, Tarsito, Bandung, 1972, hlm. 135.

0 Response to "√ Studi Komparasi Pendapat Imam Syafi’I Dan Imam Malik Ihwal Kedudukan Dan Kehadiran Saksi Dalam Perkawinan"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel